Blog Si Kakak Kucing

If your life is missing purpose, everything else will have no meaning. Everything else around you would just lose meaning.

Hmm... Kok bisa ya missing purpose jadi bikin semuanya nggak ada artinya lagi?

"When you lose purpose, then you compete for things"

Duh, berkompetisi dalam hal-hal sementara di dunia ini sepertinya memang bikin capek, dan nggak akan ada puasnya. Selalu ada pakaian dan aksesoris yang makin bagus, makin mahal, belum lagi para pengguna media sosial update OOTD-nya . Selalu ada hp atau gadget lain yang makin canggih. Ada aja kafe kekinian yang muncul di sekitaran kita. Teman sudah punya mobil keluaran terbaru, kita masih motor keluaran sekian tahun lalu. Tiap pekan ada story yang jalan-jalan ke luar kota, bahkan ke luar negeri. Tidak ada habisnya, jika semua-semua-semua diinginkan, atau jadi bahan perbandingan, serta rasa tidak ingin dikalahkan.  

Ternyata itu termasuk akibat dari nggak punya tujuan.

Iya sih sebenarnya hal-hal yang disebut itu bisa bikin bahagia. Tapi, kebahagiaan bisa datang dan pergi (dengan cepat) untuk hal-hal sementara seperti itu.

"When purpose is there, all of these things come and they make you happy. They give you some fuel, but you're never comparing yourself. You're never competing."

Nggak mikirin orang dengan segala hal duniawi yang dimilikinya. 

Cukup. Merasa cukup.

Eh tapi bentar! Sebenarnya apa 'purpose' yang dimaksud?

"You're on a road, that you haven't accomplished."

Oh... Itulah kenapa kalau punya tujuan itu kita nggak akan membandingkan dan berkompetisi, kecuali perihal apakah saya terus melangkah? Apakah saya masih di jalan ini? Apakah saya berprogress? 

***

Hidup bisa nggak ada artinya kalau nggak punya tujuan tersebut. Semoga tujuan ini selalu hadir, melekat dalam hidup. 

Hidup bisa capek kalau terus-terusan mengikuti arus kompetisi hal duniawi. Bahagianya cepat datang, cepat pula pamit kembali dalam sekejap mata. Semoga bisa selalu merasa cukup dan tidak sering terlena terhadap dunia yang sementara. Semoga kebahagiaan hakiki bisa diraih. 

Berbuat kebaikan, meski dalam keadaan kurang lapang.

Berbuat kebaikan, sekecil apa pun itu. Nggak ada yang tau se-berarti apa kebaikan kecil yang kita lakukan bagi orang lainnya.

Kalau salah minta maaf dan perbaiki. 

Wahai diri, tolong ingat-ingat dengan baik.

***

Kalimat yang mencerahkan tentang purpose ini bersumber dari ceramahnya Ust. Nouman Ali Khan dengan judul Be Purposeful in Life, ya.

... jika saya tidak mengambil jurusan Teknik Informatika saat kuliah S1 dulu? 

Mungkin saat ini saya sedang sibuk-sibuknya karena bulan April masih termasuk peak season seorang auditor. Jarang pulang ke rumah, sering begadang, kurang leluasa untuk cukup fokus beribadah di luar jam kerja pada bulan suci. Auditee bakalan suka sama saya nggak ya? Atau justru saya sering disebelin mereka? Yah, mengingat beberapa testimoni dari teman-teman yang bilang kalau first impression mereka terhadap saya adalah "nih orang jutek banget!", mungkin auditee juga akan memiliki impresi yang sama. Seberapa pun berusaha, ujungnya wajah saya ini masih suka kembali ke tampilan default. 

Hmm, atau mungkin saya lagi jadi guru? Mengajar anak sekolah yang makin bervariasi tingkahnya dibanding masa-masa saya bersekolah. Menjadi guru yang kalau kasih soal ujian suka ribet sendiri, kasih nilainya se-detail itu, kalau ada yang nyontek akan ditindak, tapi akan mengapresiasi yang bisa berprogess. Seru juga kayaknya kalau mengadakan makan-makan sama murid tiap semester! Gaji saya sebagai guru kira-kira layak nggak ya? Harus punya penghasilan dari profesi lain juga sepertinya.

Mungkin saya menjadi PNS atau pegawai BUMN, mengikuti keinginan orang tua pada umumnya. Kerap ke luar kota untuk perjalanan dinas, punya hidup 'stabil' di pandangan orang lain. Saya bakal jadi pegawai yang nurut-nurut aja atau bakal berani ya kira-kira? 

Mungkin saya saat ini sedang menjadi...

Penerjemah? 

Editor? 

Jurnalis? 

Orang di balik layar stasiun televisi? 

Ya, apa pun itu, tentu tidak lebih baik dari saya sebenarnya saat ini, karena pasti jalan saya sekarang sudah jadi jalan yang terbaik dari-Nya.

Saya manusia yang banyak takutnya. Mulai dari takut kecoa terbang, takut naik wahana ekstrem, takut ketinggian, bahkan takut menerima telepon pada suatu momen, yaitu saat berasosiasi dengan ketakutan sejuta umat: kehilangan.

kembali lagi bersama hari-hari takut angkat telepon

Itu adalah cuitan saya di Twitter pada tanggal 30 Desember 2022. 

Singkat cerita, sore itu mama saya dilarikan ke rumah sakit karena dalam keadaan darurat, lalu besoknya masuk ICU. Sejak itu saya mengaktifkan nada dering padahal biasanya handphone saya selalu dalam mode senyap. Sejak itu pula saya selalu takut dan cemas tiap ada telepon masuk, apalagi kalau itu telepon dari ayah saya. Sebelum menekan tombol hijau saya selalu berusaha menenangkan diri dan menepis rasa takut sambil membaca Basmallah. Dulu saya juga pernah mengalami ketakutan yang sama persis ketika masih sekolah. Dan, ketakutan yang serupa terjadi beberapa kali lagi meski ketakutannya tidak sebesar dua contoh yang sudah disebut. Makanya, saya menuliskan "kembali lagi bersama hari-hari takut angkat telepon" karena memang bukan sekali dua kali.

Akhir-awal tahun saya dihantui ketakutan. 

Tapi, memang manusia bisa saja menutupi ketakutannya. 

Malam menjelang pergantian tahun, saya yang sendirian di rumah sempat update status dengan kolase gambar salah satu momen terbaik di tahun 2022 yaitu umroh bersama orang tua dan sahabat disertai tulisan "happyyy!", dan di-update dengan caption "yeaaay~" di Twitter.

Ketik "yeaaay" di media sosial padahal aslinya sedang menangis.

Hahahahahaha. 

Pada hari pertama di tahun ini, saya sempat menunggu di area ruang ICU. Sungguh, saya sangat nggak suka dengan suasana di sana (siapa sih yang suka?!). Tiap ada keluarga pasien yang dipanggil, saya selalu anxious sendiri, padahal itu bukan keluarga saya. Nggak kuat, terlalu banyak menyaksikan kesedihan orang, ujungnya saya tertekan sendiri bahkan ikutan nangis.

Alhamdulillaah, ketakutan saya bisa pudar beberapa hari kemudian karena kondisi mama sudah agak membaik dan boleh rawat jalan. Rasanya legaaaaaaaaa banget. Seperti ada beban berat yang diangkat. 

Handphone pun saya kembalikan ke mode senyap. 

***

Telepon. Dari kecil saya sudah ada kesan sendiri tentang ini.

Melalui telepon, berita gembira dan sedih bisa tersampaikan. Kalau yang didapat adalah berita gembira maka bersyukur, kalau yang didapat berita sedih maka menyungkur. 

Semoga kita lebih banyak bersyukur usai menerima telepon dari seseorang. 

Setelah dua tulisan sebelumnya udah bahas paparan dari dr. Andreas dan Ko Nago, kali ini mari bahas sedikit apa yang disampaikan dr. Jiemi saat event #BLPTalks X LevelUWU pekan lalu. Ini singkat aja, gaeess. Mepet nulisnya soalnya hehehehe~

Agak berbeda dengan dr. Andreas dan Ko Nago, dr. Jiemi ini ingin mengajak peserta untuk 'terima' rasa insecure, sebagai bahan buat refleksi.  

Insecure itu kan perasaan nggak cukup, merasa nggak pasti. Pertanyaannya, emang apa yang pasti dari dunia ini? Nggak ada. Terus, tentang cukup, tentu sesuatu yang bisa kita sebut cukup bakal berganti seiring berjalannya waktu.

Jangan-jangan, nggak cukup adalah hal yang lumrah. 

Dokter Jiemi kasih tau kalau insecurity itu bisa dilihat sebagai dua hal, yaitu insecurity yang healthy dan not healthy. Kalau healthy, kita berani acknowledge kalau kita sedang insecure. Setelah sadar, kita terima rasa nggak nyamannya, lalu ber-progress di area yang memang bisa kita lakukan. Misalnya, ketika melihat teman-teman yang lain seakan lebih pintar dari kita dan bikin insecure, kita terima perasaan itu, dan berusaha dengan belajar biar bisa mengejar atau nggak jauh ketinggalan.

Terus yang not healthy gimana? Insecure yang nggak sehat itu kita nge-blame, nyalahin. Contohnya, "dia tuh bikin gue blableblo", "harusnya kalau orang tua saya nggak gini gini, saya nggak akan begini, nggak akan insecure." Selain nyalahin, kita juga menyangkal, misal "enggak kok, aku nggak apa-apa. aku nggak insecure". Terakhir, tanda insecure nggak sehat lainnya adalah kita mengubah orang lain, mengontrol realita.

Jadi, nggak apa-apa banget kalau insecure. Yang penting insecure dengan sehat.

Sebagai penutup tulisan yang singkat ini, ada kutipan dari dr. Jiemi: 

Ingat! Kita hadir dan hidup!

Salam,

🐱