Sudut Pandang

Usai bermain di luar, aku langsung melangkah menuju dapur, ingin menikmati camilan. Makan-main- tidur lalu ulangi adalah motto hidupku. Bel...

Usai bermain di luar, aku langsung melangkah menuju dapur, ingin menikmati camilan. Makan-main- tidur lalu ulangi adalah motto hidupku. Belum sempat mengambil sang pemuas mulut dan perut, aku melihat sosok yang sudah memakai piyama bermotif abstrak dengan dasar hitam. Sepertinya dia habis mengambil air minum. Kami sempat bertatapan sekian detik, lalu dia melengos begitu saja. 

Tumben.

Biasanya jika melihatku, dia pasti langsung heboh. Bertanya-tanya aku habis main dari mana, kenapa aku makan terus, menceramahiku untuk tidak memedulikan para cowok yang mendekati karena katanya aku masih kecil, mengomel jika pulang-pulang aku dekil, dan semacamnya. Ocehan-ocehan yang sebenarnya sering tidak aku jawab. 

Ada yang nggak beres.

Selera makanku mendadak hilang ditelan rasa penasaran. Aku membuntutinya menuju kamar, lalu ikut mendaratkan tubuh di kasur empuk berbalutkan alas berwarna sage dengan sedikit corak, seprai pilihan mama yang dibeli beberapa bulan lalu.   

"Loh? Perasaan tadi mau makan," katanya begitu melihatku. Tentu saja perkataannya aku abaikan. Aku lebih fokus memperhatikan wajahnya. Tersirat raut wajah yang sering disembunyikannya di luaran sana.  

Oke. Saatnya beraksi.

Sepertinya aku sudah tau duduk perkaranya. Kalau sudah begini, salah satu cara yang paling ampuh adalah dengan membuat dia membagi perhatiannya kepadaku, supaya tidak larut dalam pikirannya sendiri. Aku semakin mendekat, mulai caper kalau kata orang-orang.

"Hahaha. Ngerti, ya?" 

Duh, dia masih sempet-sempetnya selipin ketawa. Kebiasaan.

Aku memberi tatapan "aku ada di sini! Kamu nggak sendiri! Ayo cerita!" sambil terus menggosok-gosokkan badanku padanya, tanda bahwa aku memang menginginkan perhatiannya. Setelah beberapa lama, sepertinya mulai berhasil. Dia mulai mengelus-elus tubuhku, sambil tersenyum tipis. Aku pun coba tidur terlentang, menunjukkan kalau aku senang dan nyaman berada di dekatnya.

"Mau diceritain, nggak?"

Ya mau, lah! Daritadi gitu loh. Dasar hooman susah peka.

"Meoonggg," aku pun bersuara dan makin giat menggosokkan kepalaku ke tangannya. Senyumnya lebih lebar, tapi di matanya masih tersimpan sesuatu.

Dan akhirnya dia pun mulai bercerita. Merasa hidupnya tak berarti, banyak hal tidak sesuai ekspektasi, belum lagi jauh ketinggalan dari teman-teman yang lain. Lelah. 

:'(

Padahal, hidup dia se-berarti itu. Sangat sangat sangat meaningful, menurut sudut pandangku. Dari cara dia menyayangi aku dan teman-temanku saja sudah menunjukkan bahwa hidupnya sangat berarti untuk kami. Dia punya teman dekat yang meski tidak banyak, tetapi siap menerima maupun membagi keluh kesah dan berita gembira, serta selalu senang dengan kehadirannya di tiap pertemuan. Belum lagi orang tuanya yang selalu mendukung dan mengusahakan yang terbaik untuknya. Tentu saja itu semua karena memang dia sangat berarti. 

Mengenai sesuatu di luar ekspektasi, itu pasti kerap terjadi di dunia ini. Lagi pula, apa yang menurut kita baik, belum tentu menurut-Nya baik juga, kan? Lalu perihal ketinggalan, kan hidup ini bukan lomba lari? Masing-masing punya waktunya sendiri, waktu yang tepat. Toh yang penting segala harapan sudah diusahakan semaksimal mungkin untuk digapai, kan? Sisanya memang tinggal dipasrahkan. Ah, nggak tau deh. Aku memang kucing yang sering sok tahu. 

Gimana nih cara kasih taunya?

Tangannya masih terus mengelus-elusku saat aku melihat kotak bergembok di atas meja, tempat dia menaruh berbagai kertas. Ada surat, ada buku kecil berisi tulisan dari kerabat sebagai kenang-kenangan, atau robekan kertas lusuh hasil coretan iseng saat di kelas, atau di mana-mana. Aku bergegas lompat naik ke meja, mendekat, dan menggosokkan kepala ke kotak tersebut. 

"Kenapa? Buka kotaknya?" aku menjawabnya dengan semakin heboh menggeliat di kotak itu. Sedikit lagi kotak itu bisa jatuh, kalau saja dia tidak segera mengambilnya. 

Kotak tersebut Ia buka, dibacanya satu per satu lembaran kertas. Senyumnya semakin sumringah, tatapan matanya berbinar. Pemandangan yang aku suka. 

"Makasih, ya!" Dia mengambil tubuhku. Menggendong, memelukku dengan erat, menggosok-gosokkan kepalanya ke tubuhku. "Ayo, aku kasih makan super banyak! Besok juga, besoknya lagi juga, besok-besoknya lagi juga! Nanti boleh milih yang lebih mahal juga, deh! Aku pakai tabunganku!"

Ah, senangnya.






You Might Also Like

0 komentar

Nikmatun Aliyah Salsabila. Powered by Blogger.